KEWAJIBAN
HUKUM AUDITOR
1. Tanggung
Jawab Auditor
Dalam hal terjadinya pelangaran yang
dilakukan oleh seorang Akuntan Publik dalam memberikan jasanya, baik atas
temuan-temuan bukti pelanggaran apapun yang bersifat pelanggaran ringan hingga
yang bersifat pelanggaran berat, berdasarkan PMK No. 17/PMK.01/2008 hanya
dikenakan sanksi administratif, berupa: sanksi peringatan, sanksi pembekuan
ijin dan sanksi pencabutan ijin.
Penghukuman dalam pemberian sanksi
hingga pencabutan izin baru dilakukan dalam hal seorang Akuntan Publik tersebut
telah melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam SPAP dan termasuk juga
pelanggaran kode etik yang ditetapkan oleh IAPI, serta juga melakukan
pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berhubungan dengan
bidang jasa yang diberikan, atau juga akibat dari pelanggaran yang terus
dilakukan walaupun telah mendapatkan sanksi pembekuan izin sebelumya, ataupun
tindakan-tindakan yang menentang langkah pemeriksaan sehubungan dengan adanya
dugaan pelanggaran profesionalisme akuntan publik.
Akan tetapi, hukuman yang bersifat
administratif tersebut walaupun diakui merupakan suatu hukuman yang cukup berat
bagi eksistensi dan masa depan dari seorang Akuntan Publik , ternyata masih
belum menjawab penyelesaian permasalahan ataupun resiko kerugian yang telah
diderita oleh anggota masyarakat, sebagai akibat dari penggunaan hasil audit
dari Akuntan Publik tersebut.
Selama melakukan audit, auditor juga
bertanggungjawab (Boynton,2003,h.68):
a.
Mendeteksi
kecurangan
1)
Tanggung
jawab untuk mendeteksi kecurangan ataupun kesalahan-kesalahan yang tidak
disengaja, diwujudkan dalam perencanaan dan pelaksanaan audit untuk mendapatkan
keyakinan yang memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji
material yang disebabkan oleh kesalahan ataupun kecurangan.
2)
Tanggung
jawab untuk melaporkan kecurangan jika terdapat bukti adanya kecurangan.
Laporan ini dilaporkan oleh auditor kepada pihak manajemen, komite audit, dewan
direksi
b.
Tindakan
pelanggaran hukum oleh klien
1)
Tanggung
jawab untuk mendeteksi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh klien. Auditor
bertanggung jawab atas salah saji yang berasal dari tindakan melanggar hukum
yang memiliki pengaruh langsung dan material pada penentuan jumlah laporan
keuangan. Untuk itu auditor harus merencanakan suatu audit untuk mendeteksi
adanya tindakan melanggar hukum serta mengimplementasikan rencana tersebut
dengan kemahiran yang cermat dan seksama.
2)
Tanggungjawab
untuk melaporkan tindakan melanggar hukum. Apabila suatu tindakan melanggar
hukum berpengaruh material terhadap laporan keuangan, auditor harus mendesak
manajemen untuk melakukan revisi atas laporan keuangan tersebut. Apabila revisi
atas laporan keuangan tersebut kurang tepat, auditor bertanggung jawab untuk
menginformasikannya kepada para pengguna laporan keuangan melalui suatu
pendapat wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar bahwa laporan
keuangan disajikan tidak sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.
Lebih jauh Soedarjono dalam Sarsiti
(2003) mengungkapkan bahwa auditor memiliki beberapa tanggung jawab yaitu:
a.
Tanggung
jawab terhadap opini yang diberikan.
Tanggung jawab ini hanya sebatas
opini yang diberikan, sedangkan laporan keuangan merupakan tanggung jawab
manajemen. Hal ini disebabkan pengetahuan auditor terbatas pada apa yang
diperolehnya melalui audit. Oleh karena itu penyajian yang wajar posisi
keuangan, hasil usaha dan arus kas sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku
umum, menyiratkan bagian terpadu tanggung jawab manajemen.
b.
Tanggung
jawab terhadap profesi.
Tanggung jawab ini mengenai mematuhi
standar/ketentuan yang telah disepakati IAI, termasuk mematuhi prinsip
akuntansi yang berlaku, standar auditing dan kode etik akuntan Indonesia.
c.
Tanggung
jawab terhadap klien.
Auditor berkewajiban melaksanakan
pekerjaan dengan seksama dan menggunakan kemahiran profesionalnya, jika tidak
dia akan dianggap lalai dan bisa dikenakan sanksi.
d.
Tanggung
jawab untuk mengungkapkan kecurangan.
Bila ada kecurangan yang begitu besar
tidak ditemukan, sehingga menyesatkan, akuntan publik harus bertanggung jawab.
e.
Tanggung
jawab terhadap pihak ketiga
Tanggung jawab ini seperti investor,
pemberi kredit dan sebagainya. Contoh dari tanggung jawab ini adalah tanggung
jawab atas kelalaiannya yang bisa menimbulkan kerugian yang cukup besar,
seperti pendapat yang tidak didasari dengan dasar yang cukup.
f.
Tanggung
jawab terhadap pihak ketiga atas kecurangan yang tidak ditemukan.
Dengan melihat lebih jauh penyebabnya,
jika kecurangan karena prosedur auditnya tidak cukup, maka auditor harus
bertanggung jawab.
2. Pemahaman
Hukum dan Kewajiban auditor
Banyak profesional akuntansi dan hukum
percaya bahwa penyebab utama tuntutan hukum terhadap kantor akuntan publik
adalah kurangnya pemahaman pemakai laporan keuangan tentang perbedaan antara
kegagalan bisnis dan kegagalan audit, dan antara kegagalan audit serta risiko
audit.
Berikut ini defenisi mengenai kegagalan
bisnis, kegagalan audit dan risiko audit menurut Loebbecke dan Arens
(1999,h.787) :
a.
Kegagalan
bisnis
Adalah kegagalan yang terjadi jika
perusahaan tidak mampu membayar kembali utangnya atau tidak mampu memenuhi
harapan para investornya, karena kondisi ekonomi atau bisnis, seperti resesi,
keputusan manajemen yang buruk, atau persaingan yang tak terduga dalam industri
itu.
b.
Kegagalan
audit
Adalah kegagalan yang terjadi jika
auditor mengeluarkan pendapat audit yang salah karena gagal dalam memenuhi
persyaratan-persyaratan standar auditing yang berlaku umum.
c.
Risiko
Audit
Adalah risiko dimana auditor
menyimpulkan bahwa laporan keuangan disajikan dengan wajar tanpa pengecualian,
sedangkan dalam kenyataannya laporan tersebut disajikan salah secara material.
Bila di dalam melaksanakan audit,
akuntan publik telah gagal mematuhi standar profesinya, maka besar
kemungkinannya bahwa business failure juga dibarengi oleh audit
failure. Dalam hal yang terakhir ini, akuntan publik harus bertanggung jawab.
Sementara, dalam menjalankan tugasnya, akuntan publik tidak luput dari
kesalahan. Kegagalan audit yang dilakukan dapat dikelompokkam menjadi ordinary
negligence, gross negligence, dan fraud (Toruan,2001,h.28).
Ordinary negligence merupakan kesalah
yang dilakukan akuntan publik, ketika menjalankan tugas audit, dia tidak
mengikuti pikiran sehat (reasonable care). Dengan kata lain setelah mematuhi
standar yang berlaku ada kalanya auditor menghadapi situasi yang belum diatur
standar. Dalam hal ini auditor harus menggunakan “common sense” dan mengambil
keputusan yang sama seperti seorang (typical) akuntan publik bertindak.
Sedangkan gross negligence merupakan kegagalan
akuntan publik mematuhi standar profesional dan standar etika. Standar ini
minimal yang harus dipenuhi. Bila akuntan publik gagal mematuhi standar minimal
(gross negligence) dan pikiran sehat dalam situasi tertentu (ordinary
negligence), yang dilakukan dengan sengaja demi motif tertentu maka akuntan
publik dianggap telah melakukan fraud yang mengakibatkan akuntan publik dapat
dituntut baik secara perdata maupun pidana.
Sebagian besar profesional akuntan
setuju bahwa bila suatu audit gagal mengungkapkan kesalahan yang material dan
oleh karenanya dikeluarkan jenis pendapat yang salah, maka kantor akuntan
publik yang bersangkutan harus diminta mempertahankan kualitas auditnya. Jika
auditor gagal menggunakan keahliannya dalam pelaksanaan auditnya, berarti
terjadi kegagalan audit, dan kantor akuntan publik tersebut atau perusahaan
asuransinya harus membayar kepada mereka yang menderita kerugian akibat
kelalaian auditor tersebut.
Kesulitan timbul bila terjadi kegagalan
bisnis, tetapi bukan kegagalan audit. Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan
bangkrut, atau tidak dapat membayar hutangnya, maka umumnya pemakai laporan
keuangan akan mengklaim bahwa telah terjadi kegagalan audit, khususnya bila
laporan audit paling akhir menunjukkan bahwa laporan itu dinyatakan secara
wajar. Lebih buruk jika terdapat kegagalan bisnis dan laporan keuangan yang
kemudian diterbitkan salah saji, para pemakai akan mengklaim auditor telah
lalai sekalipun telah melaksanakannya sesuai dengan standar auditing yang
berlaku umum.
Akuntan publik bertanggung jawab atas
setiap aspek tugasnya, termasuk audit, pajak, konsultasi manajemen, dan
pelayanan akuntansi, sehingga jika benar-benar terjadi kesalahan yang
diakibatkan oleh pihak akuntan publik dapat diminta pertanggungjawabannya
secara hukum. Beberapa faktor utama yang menimbulkan kewajiban hukum bagi
profesi audit diantaranya adalah (Loebbecke dan Arens,1999,h.786):
a.
Meningkatnya
kesadaran pemakai laporan keuangan akan tanggung jawab akuntan public
b.
Meningkatnya
perhatian pihak-pihak yang terkait dengan pasar modal sehubungan dengan
tanggung jawab untuk melindungi kepentingan investor
c.
Bertambahnya
kompleksitas audit yang disebabkan adanya perubahan lingkungan yang begitu
pesat diberbagai sektor bisnis, sistem informasi, dsb
d.
Kesediaan
kantor akuntan publik untuk menyelesaikan masalah hukum diluar pengadilan,
untuk menghindari biaya yang tinggi.
Pemahaman terhadap hukum tidaklah mudah
mengingat pemahaman tersebut menuntut suatu kesadaran dari perilaku-perilaku
yang terlibat di dalamnya dan juga adanya kemungkinan interpretasi yang
berbeda-beda terhadap keberadaan suatu hukum.
Hal ini juga yang terjadi pada profesi
akuntan publik di mana perilaku-perilaku yang terlibat terkadang kurang
memahami secara benar apa yang telah menjadi kewajiban yang nantinya akan
mempunyai konsekuensi terhadap hukum. Suatu pemahaman yang baik terhadap hukum
akan membawa profesi akuntan publik minimal ke dalam praktek-praktek yang
sehat, yang dapat meningkatkan performance dan kredibilitas publik yang lebih
baik.
Sebaliknya apabila akuntan publik
kurang memahaminya pada iklim keterbukaan di era reformasi seperti sekarang ini
maka akan dapat membawa perkembangan fenomena ke dalam konteks yang lebih luas
pada publik yang sudah mulai berani melakukan tuntutan hukum terhadap berbagai
profesi termasuk profesi akuntan publik.
3. Kewajiban
Hukum Bagi Auditor
Auditor secara umum sama dengan profesi
lainnya merupakan subjek hukum dan peraturan lainnya. Auditor akan terkena
sanksi atas kelalaiannya, seperti kegagalan untuk mematuhi standar profesional
di dalam kinerjanya. Profesi ini sangat rentan terhadap penuntutan perkara (lawsuits)
atas kelalaiannya yang digambarkan sebagai sebuah krisis (Huakanala dan
Shinneke,2003,h.69).
Lebih lanjut Palmrose dalam Huanakala
dan Shinneka menjelaskan bahwa litigasi terhadap kantor akuntan publik
dapat merusak citra atau reputasi bagi kualitas dari jasa-jasa yang disediakan
kantor akuntan publik tersebut.
Menurut Rachmad Saleh AS dan Saiful
Anuar Syahdan (Media akuntansi, 2003) tanggung jawab profesi akuntan publik di
Indonesia terhadap kepercayaan yang diberikan publik seharusnya akuntan publik
dapat memberikan kualitas jasa yang dapat dipertanggungjawabkan dengan
mengedepankan kepentingan publik yaitu selalu bersifat obyektif dan independen
dalam setiap melakukan analisa serta berkompeten dalam teknis pekerjaannya.
Terlebih-lebih tanggung jawab yang
dimaksud mengandung kewajiban hukum terhadap kliennya. Kewajiban hukum auditor
dalam pelaksanaan audit apabila adanya tuntutan ke pengadilan yang menyangkut
laporan keuangan menurut Loebbecke dan Arens serta Boynton dan Kell yang telah
diolah oleh Azizul Kholis, I Nengah Rata, Sri Sulistiyowati dan Endah Prepti
Lestari (2001) adalah sebagai berikut:
a.
Kewajiban
kepada klien (Liabilities to Client) Kewajiban akuntan publik terhadap klien
karena kegagalan untuk melaksanakan tugas audit sesuai waktu yang disepakati,
pelaksanaan audit yang tidak memadai, gagal menemui kesalahan, dan pelanggaran
kerahasiaan oleh akuntan public
b.
Kewajiban
kepada pihak ketiga menurut Common Law (Liabilities to Third party) Kewajiban
akuntan publik kepada pihak ketiga jika terjadi kerugian pada pihak penggugat
karena mengandalkan laporan keuangan yang menyesatkan
c.
Kewajiban
Perdata menurut hukum sekuritas federal (Liabilities under securities laws)
Kewajiban hukum yang diatur menurut sekuritas federal dengan standar yang
ketat.
d.
Kewajiban
kriminal (Crime Liabilities) Kewajiban hukum yang timbul sebagai akibat
kemungkinan akuntan publik disalahkan karena tindakan kriminal menurut
undang-undang.
Sedangkan kewajiban hukum yang mengatur
akuntan publik di Indonesia secara eksplisit memang belum ada, akan tetapi
secara implisit hal tersebut sudah ada seperti tertuang dalam Standar
Profesional Akuntan Publik (SPAP), Standar Akuntansi Keuangan (SAK),
Peraturan-Peraturan mengenai Pasar Modal atau Bapepam, UU Perpajakan dan lain
sebagainya yang berkenaan dengan kewajiban hukum akuntan (Rachmad Saleh AS dan
Saiful Anuar Syahdan,2003).
Keberadaan perangkat hukum yang
mengatur akuntan publik di Indonesia sangat dibutuhkan oleh masyarakat termasuk
kalangan profesi untuk melengkapi aturan main yang sudah ada. Hal ini
dibutuhkan agar disatu sisi kalangan profesi dapat menjalankan tanggung jawab
profesionalnya dengan tingkat kepatuhan yang tinggi, dan disisi lain masyarakat
akan mempunyai landasan yang kuat bila sewaktu-waktu akan melakukan penuntutan
tanggung jawab profesional terhadap akuntan publik.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan
bahwa kewajiban hukum bagi seorang akuntan publik adalah bertanggung jawab atas
setiap aspek tugasnya sehingga jika memang terjadi kesalahan yang diakibatkan
oleh kelalaian pihak auditor, maka akuntan publik dapat dimintai pertanggung
jawaban secara hukum sebagai bentuk kewajiban hukum auditor.
4. Tanggapan
Profesi Terhadap Kewajiban Hukum
AICPA dan profesi mengurangi resiko
terkena sanksi hukum dengan langkah-langkah berikut :
a.
Riset
dalam auditing
b.
Penetapan
standar dan aturan.
c.
Menetapkan
persyaratan untuk melindungi auditor
d.
Menetapka
persyaratan penelaahan sejawat .
e.
Melawan
tuntutan hokum
f.
Pendidikan
bagi pemakai laporan
g.
Memberi
sanksi kepada anggota karena hasil kerja yang tak pantas
h.
Perundingan
untuk perubahan hokum
5. Tanggapan
Akuntan Publik Terhadap Kewajiban Hukum
Dalam meringankan kewajibannya auditor
dapat melakukan langkah-langkah berikut :
a.
Hanya
berurusan dengan klien yang memiliki integritas
b.
Mempekerjakan
staf yang kompeten dan melatih serta mengawasi dengan pantas
c.
Mengikuti
standar profesi
d.
Mempertahankan
independensi
e.
Memahami
usaha klien
f.
Melaksanakan
audit yang bermutu
g.
Mendokumentasika
pekerjaan secara memadai
h.
Mendapatkan
surat penugasan dan surat pernyataan
i.
Mempertahankan
hubungan yang bersifat rahasia
j.
Perlunya
asuransi yang memadai
k.
Mencari
bantuan hokum
Ismail, 2014, Etika Profesi dan Kewajiban Hukum
Auditor, Halaman 3-5
Rudi Irawanto, 2014, Kewajiban
Hukum Auditor, Halaman 5
Budi, 2013, Kewajiban Hukum, Halaman
6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar